Mempelajari dan mengaktualisasikan sifat dan atribut kepemimpinan Nabi Muhammad shalahu alaihi wassalam adalah termasuk di dalam upaya untuk menjalankan sunnahnya. Tulisan ini berargumentasi bahwa kepemimpinan Islam merupakan kepemimpinan berdasarkan akhlak mulia (moral-based and character-centric leadership) yang tercermin pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai utama dalam kepemimpinan Islam tersebut di antaranya adalah tauhid, birr, amanah, nadzhrah, ‘adl, itqon, mujahadah, syura, dan ukhuwah. Masing-masing nilai tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan, beririsan, dan melengkapi. Dengan mempelajari nilai-nilai kepemimpinan Islam, para pemimpin dapat menjadi pemimpin yang lebih efektif dengan terhindarnya dari sisi gelap kepemimpinan semisal sikap melayani diri sendiri (self-serving), individualistik, dan narsisistik, serta terbangunnya lingkungan serta budaya kerja yang lebih sehat dan positif.
Dalam perspektif Islam, kepemimpinan bermula dari kepemimpinan diri, yaitu kemampuan diri dalam memimpin dan mengelola diri untuk tetap berada di atas tujuan penciptaan dirinya sebagai 'Ibadurrahman – hamba-hamba Allah yang pemurah, berpegang kepada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam berbagai tantangan individu situasional. Tanggung jawab ini terus berkembang hingga mencapai kepemimpinan universal, yaitu rahmat bagi semesta alam.
Karakter dan kemampuan kepemimpinan muncul dan berkembang melalui proses pendidikan, termasuk di dalamnya mempelajari kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW sebagai teladan, sebagaimana Al-Quran menekankan bahwa pada diri Nabi Muhammad SAW terdapat budi pekerti yang agung dan merupakan teladan dalam setiap aspek kehidupan.
Kepemimpinan Rasulullah SAW adalah kepemimpinan berbasis akhlak. Akhlak yang baik memberikan daya tarik dan membuat seseorang disukai dan diikuti oleh orang lain, dijadikan teladan dan dimintai pendapatnya. Akhlak yang paling baik adalah akhlak yang menjadi Ihsan, yaitu di mana seorang pemimpin sudah tidak lagi membutuhkan motivasi eksternal untuk dapat tetap bersikap sesuai dengan standar moral yang dipegangnya. Standar moral bagi seorang pemimpin tersebut dapat dikembangkan dengan mempelajari akhlak Baginda Nabi Muhammad SAW.
Akhlak adalah kualitas yang memungkinkan dan mempengaruhi seseorang untuk menjalani kehidupan yang baik dan menuntun mereka untuk melakukan hal yang benar dalam konteks situasional apa pun. Tulisan ini berfokus pada nilai-nilai utama kepemimpinan yang dinilai sebagai atribut dari kepemimpinan Islam yang efektif yang tercermin pada akhlak Rasulullah mengingat Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur. Berikut ini merupakan nilai-nilai Kepemimpinan Islam yang akan dibahas secara ringkas.
Pertama adalah nilai Tauhid (توحيد). Kepemimpinan dalam Islam berakar pada pengakuan atas keesaan dan kekuasaan Allah SWT atas kehidupan dan penghidupan. Konsep utama dalam Islam ini disebut dengan tauhid. Meyakini bahwa segalanya termasuk dirinya, kepemimpinannya, dan semua yang ada di bawah kepemimpinannya adalah milik dan kekuasaan dari Allah SWT dan oleh karenanya harus didaya-gunakan sebagaimana kehendak dari Sang Pemilik. Alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana yang tertulis dalam QS. Adz Dzariyat ayat 56, baik ibadah ritualistik secara vertikal (mahdhah) maupun ibadah horizontal (ghairu mahdhah) sebagai seorang khalifah di muka Bumi sebagaimana yang tertulis dalam QS. Al Baqarah ayat 30, termasuk di dalamnya adalah tugas untuk memakmurkan Bumi (QS. Huud ayat 61). Bermula dengan niat penghambaan kepada Allah SWT, setiap keputusan, kebijakan, dan semua aktivitas di dalam kehidupannya selalu diupayakan tidak melanggar aturan syariat dan bahkan harus bernilai ibadah kepada Allah SWT.
Kedua adalah Al-Birr (البرّ) yang berarti kebajikan atau berbuat baik. Al-Quran menjelaskan luasnya cakupan kebajikan sebagai amal shalih di dalam QS. Al-Baqarah ayat 177. Termasuk di dalam kepemimpinan Islam adalah itikad baik untuk menghadirkan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi kehidupan orang lain terutama mereka yang berada di bawah tanggung-jawab seorang pemimpin. Hal ini membuat konsep kepemimpinan yang melayani (servant leadership) dan kepemimpinan transformasional merupakan sesuatu yang endogen dan otentik di dalam Islam. Pemimpin Islam akan sangat terinspirasi untuk menjadi khairunnas (manusia terbaik) dengan mendatangkan sebesar-besarnya manfaat bagi orang-orang yang dipimpinnya melalui kepemimpinannya. Untuk dapat mengaktualisasikan nilai birr dalam kepemimpinan, seorang pemimpin perlu untuk memiliki sensitivitas atas kebutuhan dari orang-orang yang dipimpinnya, baik itu kebutuhan spiritual, material, fisik, maupun psikologis. Nilai birr akan membuat seorang pemimpin untuk fokus dalam melayani, di mana pemimpin tersebut sadar bahwa tugas utamanya adalah membantu orang-orang yang dipimpinnya untuk tumbuh dan berkembang serta mencapai potensi optimal mereka, bukannya menghabiskan energi untuk dapat dilayani dengan baik.
Nilai yang ketiga adalah Amanah (أمانة). Konsep ini berkaitan dengan kemampuan dalam bertanggung jawab. Amanah dalam kepemimpinan dapat dipandang melalui dua sudut pandang. Pertama, amanah sebagai pengakuan bahwa posisi kepemimpinan adalah sesuatu yang bersumber dari Allah SWT dan oleh karenanya akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah SWT. Kedua, amanah yang berarti sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin terkait kemampuan dan reputasinya dalam menjaga kepercayaan di hadapan orang-orang yang dipimpinnya maupun stakeholder lainnya, yang di depan mereka pula seorang pemimpin bertanggung jawab. Kedua sudut pandang tersebut sangatlah berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal ayat 27. Amanah juga dapat diartikan sebagai integritas, yaitu kesatuan antara apa yang diyakini, diucapkan, dan dilakukan. Oleh karenanya dalam Islam, sifat amanah begitu dekat dengan kejujuran. Seorang pemimpin yang berbeda antara apa yang diucapkan dan yang dilakukannya tentu tidak akan mendapatkan simpati dari orang-orang yang dipimpinnya. Jauh sebelum masa kenabiannya, Nabi Muhammad SAW sudah digelari sebagai Al-Amin oleh masyarakatnya, yang berarti seseorang ‘yang dipercaya’ atau ‘yang berintegritas’.
Nadzhrah (نظرة) adalah nilai yang keempat. Nadzhrah berarti pandangan atau visi. Sedangkan kemampuan menghasilkan dan membangun visi disebut dengan visioner. Karakter visioner begitu melekat pada sosok kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW memiliki kemampuan dalam memvisualisasikan masa depan sehingga hal tersebut menjadi motivasi bagi para pengikutnya. Banyak catatan hadis di mana Nabi memberikan gambaran dan kabar gembira terkait masa depan dan itu menjadi semangat bagi kaum muslimin selama berabad-abad setelahnya, di antaranya yang paling popular adalah hadis-hadis terkait penaklukan Baitul Maqdis dan Konstantinopel. Walaupun berjarak sekian tahun bahkan abad, visi yang digambarkan dan ditanamkan Nabi begitu efektif sebagai motivasi yang menjadi penggerak umat untuk mewujudkan visi tersebut.
Nilai yang kelima yaitu ‘Adl (العدل) atau adil merupakan kata sifat yang begitu kuat melekat pada kata kepemimpinan dalam tradisi Islam. Pemimpin yang adil termasuk di antara tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT di hari akhir. Adil secara bahasa berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks kepemimpinan, adil berarti mampu bersikap objektif tanpa dipengaruhi faktor-faktor subjektif, semisal kepentingan pribadi, sebagaimana Al-Quran menekankan dalam QS. Al-Maidah ayat 8. Dalam posisi kepemimpinan, seseorang sangat mungkin untuk bersikap tidak adil dikarenakan kekuasaannya. Hal ini dapat mengarah kepada penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power).
Nilai yang keenam adalah Itqon (اتقان). Pemimpin yang memegang kepakaran dan pengalaman di bidangnya akan dengan mudah mendapatkan pengakuan atas kepemimpinannya dari orang-orang yang dipimpin dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi. Bentuk profesionalisme ini dalam tradisi Islam disebut dengan Itqon. Sebagaimana hadits Nabi: “Allah ʽazza wa jalla menyukai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan secara itqan.” (HR. Baihaqi). Oleh karenanya Itqon dapat diartikan sebagai profesionalisme yang mencakup kepakaran, ketekunan, pengalaman, dan keahlian teknis dalam suatu bidang. Dalam shalat, Imam dipilih berdasarkan kepakarannya atas Al-Quran. Seorang pemimpin perusahaan di bidang teknologi akan lebih mampu memimpin dengan efektif jika pemimpin tersebut juga merupakan seseorang yang pakar dalam bidang teknologi. Selain kepakaran teknis dalam bentuk hardskills, Itqon juga mencakup softskills dalam memimpin, semisal kemampuan dalam bernegosiasi dan mengambil keputusan. Oleh karenanya, kesukaan pada belajar dan terus membekali diri dengan ilmu pengetahuan merupakan karakter yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Keputusan-keputusan harus diambil secara rasional dan faktual berdasarkan data dan informasi yang valid dan aktual.
Yang ketujuh adalah Mujahadah (مجاهدة), diartikan sebagai sikap bersungguh-sungguh. Seorang pemimpin perlu menunjukkan sikap totalitasnya dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan. Hal ini juga berkaitan dengan nilai sebelumnya yaitu itqon di mana seorang pemimpin mampu menunjukkan kesungguhannya di dalam menekuni sebuah bidang. Namun demikian, konteks kesungguhan yang utama dan pertama adalah terkait kesungguhan dalam memimpin diri sendiri untuk tetap berada di atas standar kebenaran dan kebaikan yang dipegang oleh pemimpin tersebut, sebagaimana Nabi menjelaskan bahwa jihad yang paling utama adalah jihad melawan diri sendiri dan hawa nafsu.
Syura (شورى) adalah nilai yang kedelapan. Walaupun pemimpin perlu berpengetahuan di bidangnya, namun tidak harus seorang pemimpin selalu menjadi yang paling tahu di setiap aspek dan lingkup kerjanya, lalu mengambil keputusan dan tindakan seorang diri. Hal ini berkaitan dengan prinsip lainnya yaitu Syura, di mana pemimpin harus mampu membangun kerja sama (amal jama’i) yang efektif serta rasa kepemilikan bersama (sense of belonging) melalui proses musyawarah. Syura adalah mekanisme dalam mengambil keputusan melalui proses konsultasi kepada anggota majelis untuk mencapai kesamaan pandang atau yang disebut sebagai mufakat. Al-Quran menekankan pentingnya Syura setidaknya dalam QS. Ali Imran ayat 158 dan QS. As-Syura ayat 38. Memimpin manusia tidaklah sederhana, pemimpin perlu memahami karakter manusia. Allah SWT menciptakan manusia disertai dengan martabatnya yang perlu dihormati. Aktualisasi nilai Syura dalam budaya organisasi dapat membuat anggota organisasi merasa diterima, dihormati, dan diakui keberadaan dan perannya.
Nilai yang kesembilan adalah Ukhuwah (أخوة) atau persaudaraan juga merupakan salah satu konsep penting dalam Islam dan oleh karenanya memiliki implikasi signifikan terhadap konsep kepemimpinan Islam. Dengan mengaktualisasikannya, pemimpin dan semua anggota dianggap sebagai satu keluarga. Semua anggota organisasi merasa bahwa hubungan mereka satu sama lain adalah saudara sebelum hubungan struktural apapun. Untuk dapat mencapai hakikat persaudaraan ini, para pemimpin perlu menjunjung tinggi nilai kesetaraan (‘adl) dan tidak memandang dirinya lebih baik atau lebih tinggi dari orang lain. Mereka memperlakukan orang lain di dalam organisasi sebagaimana dirinya berharap diperlakukan oleh orang lain.
Semoga kita bisa menjadikan apa yang Allah firmankan dan Nabi contohkan sebagai nilai dasar kepemimpinan kita dalam memimpin dan mengelola organisasi, yang hanif dan juga efektif, sehingga tim kita berhasil menjadi sekelompok orang-orang beriman yang berdampak untuk kebaikan orang banyak, aamiin.
Kontributor: Muhamad Rizky Rizaldy