Sebagai bagian dari wujud komitmen IAEI UK untuk meningkatkan literasi ekonomi syariah Indonesia, Ikatan Ahli Ekonomi Islam United Kingdom (IAEI-UK) menyelenggarakan acara perdananya yaitu Dialektika IAEI-UK bertema “Indonesian Halal Industry, Way Forward?” pada Senin lalu, 08 Maret 2023. Acara yang dilaksanakan secara hybrid ini mendapatkan atensi yang sangat baik dari berbagai pihak, terlihat dari jumlah peserta yang mencapai setidaknya 208 orang dan antusiasme peserta yang terjaga dari sesi pemaparan hingga sesi tanya jawab. Acara ini diharapkan dapat menjadi awal yang baik bagi IAEI-UK untuk turut berkontribusi dalam pengembangan keilmuan ekonomi dan keuangan syariah di masa depan.
Acara ini diawali dengan pemaparan dari narasumber Ibu Ni Putu Desinthya, MIFP, M.Sc. selaku Wakil Direktur Pengembangan Ekonomi Syariah dan Industri Halal KNEKS. Beliau memulai presentasinya dengan kembali menggaungkan komitmen Indonesia untuk menjadi Pusat Ekonomi Syariah Dunia di tahun 2024. Dengan berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, salah satu fokus utama pemerintah adalah membentuk ekosistem industri halal yang dapat bersinergi dengan stakeholder dari berbagai sektor. Sebagai salah satu ikhtiar untuk mewujudkan sinergi tersebut, dibentuklah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). KNEKS diharapkan dapat menjadi katalisator pengembangan industri keuangan syariah maupun industri halalnya. Terlebih lagi saat ini industri halal tidak hanya dilirik oleh negara-negara mayoritas Muslim, namun juga negara yang penduduk Muslimnya minoritas seperti Thailand dengan visi Halal Kitchen of The World, Korea Selatan dengan tren kosmetik halal, dsb.
Spesifik di Indonesia, ada pendekatan berbeda yang dilakukan dengan diwajibkannya jaminan produk halal bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia. Di negara lain, jaminan produk halal bersifat voluntary dan diserahkan sepenuhnya kepada pelaku usaha. Jaminan produk halal ini mulai dijalankan dengan diterbitkannya UU No. 33 Tahun 2014, untuk memberikan kepastian bagi para konsumen di Indonesia. Dengan diberlakukannya kewajiban sertifikasi halal ini, tentunya dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pengusaha Indonesia untuk melakukan ekspor dalam rangka memenuhi kebutuhan produk halal di tingkat global. Untuk produk makanan & minuman, Indonesia menargetkan seluruh produk wajib bersertifikasi halal di tahun 2024, sehingga pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan sertifikasi produk terutama bagi para UMKM. Pemerintah memberikan bantuan bagi 1 juta UMKM untuk dapat mengajukan sertifikasi halal secara gratis melalui program sehati (sertifikasi halal gratis).
Bukan hanya makanan & minuman, Indonesia juga mulai fokus mengembangkan diri untuk menjadi produsen utama terkait produk halal dalam industri kesehatan. Terkait hal ini, di awal tahun 2023 telah dikeluarkan Perpres No. 6 Tahun 2023 terkait sertifikasi halal bagi obat, produk biologi, dan alat kesehatan. Lebih lanjut, bukan hanya produk, Indonesia juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan global dengan SDM yang kompeten terkait jasa-jasa dalam industri halal, seperti juru sembelih halal, halal supervisor, dsb. Dan utamanya adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti kebutuhan jama’ah haji yang tiap tahunnya sangat prospektif namun sayangnya saat ini tidak semuanya dapat di-cover oleh supply produk dari dalam negeri.
"Indonesia juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan global dengan SDM yang kompeten terkait jasa-jasa dalam industri halal"
Acara berlanjut dengan diskusi hangat dari 3 (tiga) penanggap yaitu Vita Arumsari (Durham), Moh. Kamiluddin Misdin (Glasgow), dan Nuha Qonita (Exeter).
Penanggap 1 (Vita Arumsari): Apakah sudah ada pengukuran terkait literasi halal pada masyarakat Indonesia? Apakah ada proses filter terkait impor produk ke Indonesia agar terjaga jaminan halalnya? Dan apakah KNEKS sudah mulai memperhatikan aspek sustainability dalam pengembangan industri halal? Respon terhadap penanggap 1: Literasi keuangan syariah saat ini dilakukan oleh BI & OJK masih berfokus pada industry keuangan syariah dan belum ada pengukuran literasi tentang industri halal di Indonesia. Namun, hal ini sedang diupayakan oleh lembaga pemeriksa halal dan institusi lainnya yang terkait.
Terkait impor-ekspor produk halal, Indonesia telah melakukan program kodifikasi produk halal Indonesia di mana alur produk halal bisa tercatat dengan baik. Dalam hal ini, INSEW dan DJBC telah melakukan kerja sama dengan KNEKS untuk melakukan kodifikasi dengan kode 952 atas seluruh produk halal yang diekspor ke luar negeri. Selanjutnya juga akan dilanjutkan kodifikasi produk impor untuk dapat dijadikan acuan data makro Indonesia.
Sustainability sangat terkait dengan nilai-nilai dalam industri halal, namun memang saat ini Industri halal di Indonesia fokusnya masih dalam pengukuran industri halal yang dicanangkan dalam skala global seperti kosmetik halal, pariwisata halal, dsb. Dan meskipun belum ada program kerja yang langsung menyasar aspek sustainability ini, kajian-kajian sudah dilakukan untuk memasukkan aspek sustainability dalam masterplan pengembangan industri halal di Indonesia.
Penanggap 2 (Moh. Kamiluddin Misdin): Mengapa yang diwajibkan sertifikasi halal, bukan sertifikasi haram yang jumlahnya lebih sedikit? Apakah kita hanya berfokus pada aspek halal, sedangkan di negara lain seperti Inggris, fokusnya sudah lebih ke arah bagaimana menyediakan produk yang thayyib? Sejauh mana regulasi mengatur pengawasan dan penindakan terhadap tindakan-tindakan pelaku usaha yang ‘nakal’?
Respon terhadap penanggap 2: Pertanyaan ini mungkin muncul dari asumsi bahwa seluruh produk di Indonesia by default halal, padahal saat ini sudah menggunakan ultra-process food, di mana proses produksi sangat kompleks, dan perlu analisa menyeluruh dari setiap rangkaian prosesnya, dari hulu hingga hilirnya. Sedangkan bagi produk-produk UMKM yang melalui proses produksi sederhana dapat melakukan self-declare. Aspek thayyib sudah diperhatikan oleh pemerintah Indonesia, namun nomenklaturnya diatur oleh lembaga yang berbeda yaitu BPOM. Lalu kemudian, perlu selalu ada sinergi antara BPJPH dan BPOM agar aspek halal dan thayyib bisa berjalan beriringan. Terkait aspek penindakan, BPJPH sedang menggodok peraturan yang akan menimbulkan sanksi administratif maupun denda bagi pelaku bisnis yang ‘nakal’, didukung dengan pelaporan dari masyarakat melalui Call Centre BPJPH.
Penanggap 3 (Nuha Qonita): Apakah tujuan akhir dari industri halal ini hanya peningkatan ekspor dan GDP? Saat ini di Indonesia rasanya ada pergeseran makna halal yang mana terkadang menggabungkan antara hukum kebolehan mengonsumsi dan menggunakan suatu produk, bagaimana tanggapan bu Dita terkait hal ini? Lalu, bagaimana mendefinisikan halal yang lebih dari sekedar angka matematis/nilai ekonomis, tetapi lebih kepada substansi maqashid sharia.
Respon terhadap penanggap 2: Saat ini yang menjadi aspek pengukuran adalah ekspor dan GDP, namun secara keseluruhan industri halal ini dapat meningkatkan kemaslahatan umat secara lebih luas lagi, melalui peningkatan kualitas dan penjagaan keberlangsungan dari pelaku usaha di Indonesia. Terkait substansi halal, saat ini Indonesia sudah memiliki SJPH (Sistem Jaminan Produk Halal), yang menjadi panduan bagi pelaku usaha dan auditor halal, namun memang sifatnya masih sangat general untuk produk makanan dan minuman. Idealnya memang harus ada turunan SJPH yang unik bagi masing-masing industri.
Selanjutnya, sesi tanya jawab dibuka dan dipilihlah 3 (tiga) peserta untuk mengajukan pertanyaannya secara langsung kepada pembicara.
Penanya 1 (Bapak Moch Mahsun): Terkait infrastruktur halal supply chain, kenapa belum ada sertifikasi halal untuk para distributor?
Jawaban #1: Terkait infrastruktur halal, saat ini fokus utama masih di level makro seperti pengembangan kawasan industri halal, sentra industri kecil dan menegah halal, dan pengembangan logistik halal. Namun, KNEKS juga membuka peluang kerja sama dari berbagai pihak, sehingga jika masyarakat memiliki riset terkait pengembangan infrastruktur halal, dapat diinformasikan kepada KNEKS agar nantinya dapat disinergikan dan didorong menjadi sebuah kebijakan.
Penanya 2 (Ibu Arna Asna Annisa): Bagaimana indikator terkait jasa halal?
Jawaban #2: Indikator jasa halal masih mengacu pada SJPH, walaupun sifatnya masih general di mana benchmark utamanya adalah produk makanan dan minuman. Idealnya perlu diturunkan ke masing-masing industri, seperti telah dilakukan di luar negeri. Sejauh ini hanya ada beberapa industri khusus yang telah ada standar jaminan halalnya di Indonesia, salah satunya adalah jasa rumah sakit syariah.
Penanya 3 (Bapak Abdur Rasyid): Bagaimana pengawasan terkait pelabelan sertifikasi halal di Indonesia, karena ada beberapa kasus di mana perusahaan sudah beroperasi dan mencantumkan label halal, padahal belum selesai proses verifikasinya untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Jawaban #3: Saat ini di Indonesia, izin usaha tidak wajib mendapatkan sertifikasi halal lebih dahulu, sehingga perusahaan sudah beroperasi selama ia telah mendapatkan izin usaha, lalu kemudian mendaftarkan diri untuk pengajuan sertifikasi halal. Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan dapat berhati-hati atas produk yang beredar. Spesifik untuk kasus Mixue, laporan dari masyarakat sudah ditindaklanjuti dengan teguran dari BPJPH dan MUI. Dan saat ini juga sedang diusahakan adanya integrasi antara data di OSS terkait perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha untuk dapat didorong agar dapat segera melakukan pengajuan sertifikasi halal.
Terakhir, sebelum acara ditutup dengan foto bersama, moderator (Fahmi Yunus) menyampaikan kesimpulannya. Beliau menyimpulkan bahwa industri halal adalah industri yang sedang giat-giatnya melakukan pengembangan, namun masih banyak tugas yang perlu dikerjakan ke depannya terutama terkait aspek regulasi, sustainability, penegakan hukum, sosialiasi kepada masyarakat, dsb. Dan untuk menciptakan regulasi yang baik, perlu diperhatikan bagaimana membangun koordinasi yang efektif antara stakeholder terkait yang mencakup Kementerian Agama, Kementrian Pertanian, BPOM, dsb.
Kontributor: Yunice K. Tumewang