Inggris, 24 September 2024 - Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) menyelenggarakan diskusi ilmiah bertemakan penelitian kualitatif dalam ekonomi Islam. Acara ini menghadirkan Muhammad Fariz dan Muhamad Rizky Rizaldy sebagai pengurus IAEI-UK. Diskusi yang dipandu oleh Dian Nuriyah Solissa berlangsung sangat hidup dan kritis, dengan banyak peserta terlibat aktif bertanya, merespons, serta memberikan konteks kontemporer terkait berbagai isu fundamental yang perlu diteliti lebih mendalam.
Fariz membuka diskusi dengan membahas filosofi ilmiah dalam penelitian kualitatif. Filosofi ini, secara sederhana, berkaitan dengan asumsi dasar tentang bagaimana manusia memahami dunia. Chalmers (2022) mengibaratkan filsuf seperti anak-anak yang terus menerus mempertanyakan apa, mengapa, dan bagaimana tentang hal-hal di sekitar mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya membawa mereka kepada hakikat dari sesuatu. Tanpa disadari, filosofi hadir dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam cara pandang kita terhadap uang, apakah sebagai tujuan atau alat. Begitu pula dengan riset dan ilmu pengetahuan; teknologi canggih yang kita nikmati hari ini berasal dari fondasi filosofis yang membawa peradaban manusia ke era modern.
Perkembangan ilmu pengetahuan berawal dari pemikiran filsuf tentang fenomena-fenomena dunia. Sebagian filsuf, seperti John Locke dan David Hume, mengandalkan panca indera untuk mengamati kejadian di sekitar mereka, yang kemudian melahirkan paham empirisme dan menjadi dasar metode induksi. Di sisi lain, filsuf seperti René Descartes dan Immanuel Kant lebih mengutamakan logika, yang melahirkan paham rasionalisme. Baik empirisme maupun rasionalisme, pada dasarnya berusaha menemukan kebenaran tentang dunia ini. Asumsi filosofis inilah yang membentuk metode dan prosedur ilmiah yang kita kenal, yang menghasilkan keyakinan terhadap suatu realitas, yang kemudian dinamakan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan awalnya berkembang untuk memahami fenomena alam (natural science) dengan metode positivistik atau kuantitatif yang bersifat empiris, objektif, dan dapat diukur secara statistik. Metode ini kemudian diadopsi untuk meneliti fenomena sosial atau perilaku manusia. Durkheim, misalnya, menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mempelajari masyarakat secara kolektif. Namun, metode kuantitatif saja tidak cukup untuk memahami fenomena sosial yang kompleks. Oleh karena itu, metode kualitatif mulai berkembang, yang lebih fokus pada pengalaman individu dan interaksinya, sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang interpretatif dan subjektif, dengan tujuan memahami makna dan konteks perilaku manusia.
Rizaldy melanjutkan dengan memaparkan bahwa ekonomi Islam, baik secara teoretis maupun praktis, masih menghadapi banyak kekosongan yang membutuhkan lebih banyak peneliti dan penelitian kualitatif. Menurutnya, ekonomi syariah mengalami stagnasi pemikiran, tidak seperti pada era 1960-an hingga 1980-an ketika para pendiri ekonomi syariah kontemporer banyak berdialektika untuk memperkuat body of knowledge ekonomi syariah.
Ia menambahkan, banyak ilmuwan ekonomi syariah terlalu terpaku pada penelitian kuantitatif yang bersifat konfirmatoris. Padahal, sebagai disiplin ilmu yang relatif baru, ekonomi syariah memerlukan lebih banyak penelitian eksploratif untuk menciptakan pengetahuan baru yang dapat menjawab permasalahan riil di tengah masyarakat.
Sayangnya, beberapa peneliti lebih mengutamakan reputasi dengan menerbitkan penelitian di jurnal bereputasi tinggi menggunakan metode yang kompleks, meskipun hasilnya masih terbatas pada konfirmasi. Rizaldy menegaskan bahwa penelitian kuantitatif tetap penting, karena hasil penelitian kualitatif sebaiknya juga diuji dengan pendekatan kuantitatif. Ia juga mengakui bahwa penelitian kuantitatif telah berkontribusi signifikan dalam memperkuat reputasi ekonomi syariah sebagai ilmu yang empiris dan ilmiah.
Kamil, salah satu pengurus lainnya, menambahkan bahwa para ilmuwan ekonomi syariah sering mengabaikan diskusi-diskusi fundamental terkait kondisi riil masyarakat, terutama mengenai kaum lemah dan kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin. Ia juga berpendapat bahwa banyak ilmuwan ekonomi syariah kurang menunjukkan pemikiran kritis dan terlalu mudah membenarkan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh penguasa.
Harapannya, diskusi kritis seperti ini dapat membantu menghasilkan ilmu ekonomi syariah yang lebih relevan dalam menjawab permasalahan fundamental umat Islam, terutama di Indonesia.
Kontributor: Muhamad Rizky Rizaldy